Jl. RP. Soeroso No. 25 9, Jakarta Pusat [email protected]
Berita

Pernikahan Dini Masih Tinggi, Masa Depan Anak Terancam

Pernikahan anak masih menjadi masalah serius di Indonesia dan negara berkembang lainnya. Penelitian dalam Jurnal Riset Kualitatif dan Promosi Kesehatan (2023) mencatat bahwa lebih dari 30% anak perempuan di Asia Selatan menikah sebelum usia 18 tahun. Di Bangladesh dan Afghanistan, angkanya bahkan melampaui 40%.

Di Indonesia, praktik ini terjadi secara luas, terutama di daerah miskin dan terpencil. Saat pandemi COVID-19 melanda, jumlah pernikahan anak meningkat karena sekolah tutup dan tekanan ekonomi memburuk.


Pernikahan Dini Mengancam Kesehatan dan Mental Anak

Pernikahan usia dini berdampak besar pada kesehatan fisik dan mental anak perempuan. Mereka menghadapi risiko seperti:

  • Pendarahan hebat dan kehamilan bermasalah
  • Kematian saat melahirkan karena tubuh belum matang
  • Stres dan tekanan psikologis karena harus menjalani peran istri dan ibu
  • Bayi lahir dalam kondisi kurang gizi atau berat badan rendah

 

Anak Perempuan Kehilangan Akses Pendidikan

Anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun 2,5 kali lebih besar kemungkinannya untuk putus sekolah dibandingkan yang menikah setelah usia dewasa. Banyak dari mereka tidak melanjutkan pendidikan karena larangan dari suami atau keluarga suami.

Akibatnya, mereka kehilangan kesempatan untuk bekerja dan mandiri. Kondisi ini membuat keluarga terus hidup dalam kemiskinan dan anak-anak mereka pun ikut terdampak.


Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Anak

  • Kemiskinan, yang membuat orang tua merasa menikahkan anak bisa mengurangi beban ekonomi
  • Budaya dan tekanan sosial, yang menganggap perempuan sebaiknya cepat menikah
  • Keterbatasan pendidikan, terutama di daerah pedesaan
  • Dampak pandemi, yang menghilangkan pengawasan sekolah dan memperburuk kondisi keluarga

 

Solusi yang Terbukti Mencegah Pernikahan Anak

Beberapa negara telah mencoba pendekatan untuk menurunkan angka pernikahan dini, seperti:

  • Program bantuan tunai bersyarat, yang berhasil menurunkan pernikahan anak sebesar 23% di Bangladesh
  • Pendidikan kesehatan reproduksi, yang membekali remaja dengan pengetahuan soal tubuh dan haknya
  • Kampanye berbasis komunitas, yang melibatkan tokoh agama dan adat untuk mengubah pola pikir masyarakat
  • Penegakan hukum usia minimum menikah, agar praktik ini tidak terus berulang

Pernikahan anak bukan sekadar tradisi, tapi pelanggaran hak anak yang nyata dan harus dihentikan,” ujar penulis dalam jurnal tersebut.

Kesimpulan

Pernikahan anak merampas masa depan perempuan sejak dini. Anak-anak ini seharusnya tumbuh, belajar, dan membangun masa depan, bukan menikah karena tekanan budaya atau kondisi ekonomi.

Pemerintah, sekolah, tokoh agama, media, dan keluarga perlu bekerja sama agar tidak ada lagi anak yang menjadi korban. Kita harus membuka akses pendidikan seluas-luasnya, memperkuat ekonomi keluarga, dan menegakkan hukum secara tegas demi melindungi generasi muda Indonesia.

Jika kamu memiliki penelitian serupa dan ingin menerbitkannya di jurnal ilmiah nasional atau internasional, IDSCIPUB siap mendampingi.

Tinggalkan Balasan